SEBUAH KASUS
Idul Adha di Masjid Al Mujahidin |
Dalam tradisi
masyarakat Indonesia setiap merayakan Idul Adha, biasa memberikan daging qurban
kepada panitia pengurus hewan qurban, sehingga mereka mendapatkan bagian
daging, boleh mengonsumsi, dan memanfaatkannya. Namun ada studi fiqih di suatu
majalah Islam yang berpendapat berbeda. Dalam studi itu dikatakan, panitia
qurban tidak berhak mendapatkan daging qurban. Pertimbangannya, daging qurban
tidak boleh diberikan kepada panitia sebagai upah atas jerih-payahnya mengelola
hewan qurban. Daging qurban harus didistribusikan secara sempurna, tanpa ada
yang dijual, tanpa ada yang diberikan sebagai upah. Dalam pandangan ini, kalau
panitia bekerja mengelola qurban, cukup bekerja saja; tidak perlu berharap akan
mendapat bagian daging. Andaikan panitia harus menerima daging, ia diberikan
kepada isterinya, bukan ke tangan panitia itu sendiri.
Saat saya berbicara
dengan seorang Ketua DKM, di masjid dekat rumah, sikapnya lebih ketat lagi.
Bapak itu selama ini mengelola hewan qurban dengan mengeluarkan biaya-biaya
operasional. Sementara dia sendiri tidak mengonsumsi sedikit pun daging qurban.
Alasannya, dia hanya menerima amanat untuk menyembelih dan membagikan, bukan
untuk mengonsumsi.
Berkah dari Langit
untuk Ummat Ini.
IMPLIKASI SOSIAL
Pandangan dalam
studi fiqih di atas bila menyebar luas di tengah masyarakat, tentu akan
memiliki implikasi besar. Ia bisa menmbulkan keresahan tersendiri. Bila
pandangan itu diamalkan, maka para panitia qurban dilarang menerima daging atau
pembagian manfaat apapun dari hewan qurban. Bisa jadi mereka akan memilih
menjadi masyarakat biasa yang tidak terlibat kepanitiaan, agar tetap bisa
mendapatkan daging. Di sisi lain, pengadaan, penyembelihan, dan pembagian
daging qurban akan berkembang secara KOMERSIAL. Maksudnya, setiap yang bekerja
dengan hewan qurban menuntut upah secara profesional (komersial), dengan
pertimbangan mereka tidak berhak mendapatkan jatah daging sedikit pun.
Tentu saja, bukan
seperti itu yang diharapkan dari syiar Idul Adha. Idul Adha adalah hari raya kaum
Muslimin, hari kebanggaan, hari wibawa, hari kebahagiaan Ummat. Tidak
semestinya momen ‘Idul Adh-ha dikembangkan dengan semangat komersialitas. Ia
tetap harus dikembangkan dalam rangka syiar Islam, ketakwaan, keikhlasan, dan
mencari berkah dari sisi Allah Ta’ala. Kalau iklim komersial yang berkembang,
lambat-laun syiar udh-hiyah itu akan lenyap. Na’udzubillah wa na’udzubillah min
dzalik.
INTI MASALAH
Di hadapan kita ada
beberapa pertanyaan mendasar yang wajib dicarikan jawabannya menurut arahan
Syariat Islam, yaitu:
- Bagaimana hukum panitia qurban yang menerima jatah pembagian daging qurban?
- Bolehkah atau dilarangkah?
- Bagaimana hukumnya panitia qurban dan keluarganya mengonsumsi daging hewan qurban, atau memanfaatkan apa yang diperoleh untuk keperluan hidup mereka?
RUJUKAN
Untuk menjawab
pertanyaan di atas, saya coba buka-buka beberapa referensi kitab fiqih yang ada
di kami. Misalnya, :
- “Ringkasan Shahih Muslim” karya Imam Al Mundziri;
- “Bulughul Maram” karya Ibnu Hajar Al Asqalani;
- “Mulakhas Fiqhiy” karya Syaikh Shalih Al Fauzan;
- Tafsir Ibnu Katsir, khususnya saat membahas Surat Al Hajj ayat 28 dan 36;
- “Fiqh Islam” karya H. Sulaiman Rasyid; dan
- Buku “Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama Jilid 1-3” karya Al Ustadz A. Hassan.Hanya saja, dalam buku terakhir tidak saya jumpai pembahasan tentang kasus di atas.
PEMBAHASAN
Untuk menemukan
jawaban yang memuaskan dari kasus yang disebutkan di awal tulisan ini, ada
beberapa poin pembahasan yang perlu disampaikan. Secara berurutan disebutkan
sebagai berikut:
Panitia |
[1] Pada dasarnya, panitia qurban BERHAK
mendapatkan jatah daging qurban, berhak mengonsumsi, atau mengambil manfaat
dari hewan qurban yang dibagikan. Dalilnya sederhana, bahwa tidak ada larangan
dalam Al Qur’an atau As Sunnah yang mengharamkan panitia mendapat jatah daging
qurban. Kita tidak pernah mendapati ayat Al Qur’an atau hadits Nabi Saw yang
mengatakan, misalnya, “Barangsiapa bekerja mengatur urusan daging hewan qurban,
dilarang memakan dagingnya, atau mengambil manfaat apapun darinya.” Tidak ada
indikasi ke arah itu. Kaidah ushul yang berlaku disini, “Al ‘ashlu fil asy-yai
al ibadah” (asal dari setiap sesuatu, selama tidak ada yang larangan, ialah
mubah atau boleh). Namun hukum ini belum memadai, sehingga perlu diberi
penjelasan-penjelasan lain.
[2] Dalam Surat Al Hajj ayat 28 disebutkan,:
لِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا
رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Fa kuluu mina wa ath-imul ba’itsil faqiir”
(maka makanlah hewan
qurban itu dan berikanlah makan kepada orang-orang yang tertimpa kefakiran).
Terhadap ayat di
atas, Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar, “Sebagian orang berdalil dengan
ayat ini atas wajibnya memakan daging qurban. Ini adalah pendapat yang asing.
Akan tetapi pendapat yang paling banyak, bahwa makan daging qurban termasuk bab
rukhsah (keringanan), atau mustahab (lebih disukai).”
Imam Malik rahimahullah
berkata, “Aku lebih suka makan hewan qurban, karena Allah Ta’ala berfirman,
‘Makanlah darinya!’” Ibnu Wahab berkata, “Aku bertanya ke Laits, dia berkata
seperti itu juga (sependapat dengan Imam Malik).” Sufyan Ats Tsauri
rahimahullah berkata, “Dulu kaum musyrikin tidak memakan daging sembelihan
untuk qurban. Maka diberi keringanan kepada kaum Muslimin. Siapa yang mau,
silakan makan; siapa yang tidak mau, tidak usah makan.” Ibnu Jarir At Thabari
rahimahullah juga menetapkan bolehnya memakan daging sembelihan qurban
tersebut. Beliau meyitir ayat-ayat lain sebagai qiyas.
Singkat kata, lebih
disukai jika kaum Muslimin mengonsumsi daging hewan qurban. Malah ada yang
berpendapat, wajib mengonsumsi. Dengan demikian, jika para panitia hewan qurban
itu Muslim, mereka lebih disukai mengonsumsi daging qurban.
[3] Surat Al Hajj ayat 28 diperkuat oleh ayat
selanjutnya, Surat Al Hajj ayat 36. Disana dikatakan,
وَالْبُدْنَ
جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Fa kuluu minha wa
ath-imul qaa-ni’ wal mu’tar”
(maka makanlah dari
daging qurban itu dan berikan makan kepada orang yang qana’ah (merasa cukup
dengan apa yang ada pada diri mereka) dan orang yang meminta (diberi daging
hewan qurban).”
Atas ayat di atas,
Ibnu Katsir mengatakan, “Berkata sebagian Salaf, ‘Makanlah darinya!’ Ini
perkara mubah. Imam Malik berpendapat, ia lebih disukai. Sebagian ulama Syafi’i
menghukuminya wajib.” (Perlu diingat, Imam Ibnu Katsir rahimahullah termasuk
bermadzhab fiqih Syafi’iyyah).
Ketika menjelaskan
makna, memberi makan kepada al qana’ dan al mu’tar, Ibnu Abbas Ra menjelaskan,
“Al qana’ ialah orang yang merasa cukup atas apa yang engkau berikan kepadanya,
sedangkan dia ada di rumahnya (maksudnya, tidak keluar rumah untuk
meminta-minta daging qurban). Al mu’tar ialah orang yang memohon kepadamu,
mencelamu atas daging yang engkau berikan, dan tidak meminta.” Terjemah Depag.
RI menyebut al qana’ sebagai yang rela dengan keadaan dirinya, sehingga tidak
perlu meminta-minta. Sedangkan al mu’tar, orang yang meminta diberi daging.
Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan, “Telah berhujjah dengan ayat ini sebagian ulama, bahwa
hasil sembelihan qurban dibagi 3 bagian: 1/3 untuk yang berqurban, 1/3 untuk
dihadiahkan kepada teman-temannya, dan 1/3 lagi disedekahkan untuk
fakir-miskin.”
Syaikh Shalih Al
Fauzan berpendapat, “Lebih disukai makan hewan dari hadyu, jika hadyu untuk
Haji Tamattu’ dan Qiran. Dan disukai makan dari hewan qurban, diberikan sebagai
hadiah, dan disedekahkan, sepertiga-sepertiga. Seperti firman Allah, ‘Maka
makanlah darinya dan berikan makan.’” (Mulakhas Fiqhiy. Juz I, hal 317).
Dengan penjelasan
Surat Al Hajj ayat 38 ini, maka hukum memakan daging qurban bagi kaum Muslimin,
bersifat lapang. Ia boleh diberikan kepada manusia yang meminta dan yang tidak
meminta. Boleh diberikan kepada kaum fakir-miskin, maupun orang kaya yang sehari-hari
makan daging. Andaikan bukan karena rasa lezat dan kandungan gizi dari daging
qurban, setidaknya bisa diambil berkahnya.
[4] Sebuah hadits dalam riwayat Imam
Bukhari-Muslim. Anas Ra. berkata, “Rasulullah Saw pernah berqurban dengan dua
ekor kambing kibasy putih, yang telah tumbuh tanduknya. Aku pernah melihat
beliau menyembelih kedua kambing itu dengan tangannya, aku melihat beliau
meletakkan kakinya di pangkal leher kedua domba itu, lalu membaca bismillah dan
bertakbir.” Dalam riwayat lain, Rasulullah meminta Aisyah Ra. memberikan beliau
pisau tajam untuk menyembelih hewan udh-hiyyah (qurban).
Disini didapat
dalil, bahwa seseorang boleh menyembelih hewan qurban miliknya dengan tangannya
sendiri. Malah cara seperti itu lebih baik, sesuai Sunnah Nabi Saw. Dan orang
yang menyembelih ini tidak diharamkan makan hasil sembelihan daging qurban-nya.
Rasulullah Saw sendiri menyembelih, keluarganya lalu memasak dagingnya, dan
beliau memakan hasil masakan itu. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz VI, hal. 307).
Jadi, anggapan bahwa pihak yang menyembelih hewan qurban tidak berhak makan
daging qurban dimentahkan oleh riwayat-riwayat itu.
[5] Dalam hadits lain, masih riwayat Bukhari
Muslim, disebutkan dalam Bulughul Maram, hadits no. 1166, tentang Kitab
Adha-hiy. Dari Ali bin Abi Thalib Ra., dia berkata, “Rasulullah Saw menyuruhku
mengurus hewan sembelihannya (qurban). Beliau perintahkan aku membagikan
dagingnya, kulitnya, bulunya, untuk kaum fakir-miskin. Dan tidak memberikan
sedikit pun kepada tukang jagalnya.”
Hadits ini sangat
menarik, sebab dari riwayat ini kita bisa mengambil hikmah, bahwa kepanitiaan
hewan qurban itu sudah ada sejak jaman Nabi Saw. Meskipun pada awalnya bersifat
sederhana, dengan melibatkan Ali Ra sebagai pengelola dan pendistribusi hewan qurban
tersebut.
Atas riwayat di atas
As Shan’ani, penulis kitab Subulus Salam, memberikan penjelasan sebagai
berikut, “Kulit, bulu, daging hewan qurban harus dibagikan seluruhnya sebagai
sedekah. Seseorang yang berqurban boleh memakan sebagian dagingnya, boleh
mengambil kulitnya untuk keperluan pribadi, dan tidak untuk dijual. Memberikan
daging qurban kepada penjagal sebagai imbalan atas kerjanya, dilarang. Sebagian
orang tidak memberi upah sama sekali kepada tukang jagal, ini tidak boleh.
Kalau kemudian tukang jagal itu menerima upah tidak seperti yang dia harapkan,
itu diperbolehkan.”
Disini didapat
penjelasan, bahwa perintah tidak memberikan daging kepada tukang jagal (al
jizarah), ialah jika daging itu diberikan sebagai upah atas kerja tukang jagal
tersebut. Padahal ketentuannya, semua bagian hewan qurban yang bisa
dimanfaatkan dibagikan, bukan dijual, atau dikonversikan menjadi upah kerja.
Dalam sebuah
riwayat, Rasulullah Saw bersabda, “Jangan dijual daging hadyu dan daging
qurban. Makanlah dagingnya, bersedekahlah dengannya, ambil manfaat dari
kulitnya, jangan dijual kulit itu.” (HR. Ahmad).
KESIMPULAN PENTING
Ada beberapa
kesimpulan penting yang bisa ditarik disini, yaitu:
[a] Lebih utama bagi kaum Muslimin untuk
mengonsumsi daging hewan qurban.
[b] Daging hewan qurban diberikan kepada kaum
Muslimin yang meminta (al mu’tar) dan yang tidak meminta (al qana’). Keduanya
berhak mendapatkan.
[c] Daging hewan qurban secara umum dibagi 3
bagian: 1/3 untuk pihak yang berqurban; 1/3 untuk kawan-kawan pihak yang
berqurban, dan 1/3 lagi disedekahkan untuk fakir-miskin.
[d] Hasil hewan qurban dibagikan seluruhnya,
tidak ada yang dijual dan tidak ada yang diberikan sebagai upah dalam bentuk
daging, kulit, atau bulu.
[e] Tukang jagal yang bekerja menyembelih
hewan qurban tidak boleh diupah dengan daging qurban, kulit, atau bulunya. Dia
boleh diupah dengan harta yang lain. Apabila tidak memberikan upah sama sekali,
menurut As Shan’ani hal itu tidak boleh.
[f] Tradisi mengurus hewan qurban, lalu
membagikan ke masyarakat, sudah ada sejak jaman Rasulullah Saw. Dicontohkan
dengan perbuatan Ali bin Abi Thalib Ra.
BAGAIMANA POSISI
PANITIA QURBAN?
Sebagai kaum
Muslimin, panitia qurban jelas berhak mendapatkan daging qurban, berhak
menikmati, dan memanfaatkan hasil sembelihan qurban. Mereka adalah bagian dari
kaum Muslimin yang berhak mendapat keberkahan Yaumun Nahr (hari raya Idul
Adha).
Panitia |
Lebih kuat lagi,
apabila mereka membutuhkan daging tersebut untuk keperluan diri dan
keluarganya. Hal ini benar-benar diperbolehkan (Surat Al Hajj ayat 36). Bahkan
bila panitia itu tergolong fakir-miskin, mereka lebih berhak.
Adapun panitia yang
ikut terlibat dalam mengurus hewan qurban, dalam rangka ingin mendapatkan
bagian daging qurban, hal itu diperbolehkan. Bahkan, andaikan mereka duduk di
rumah saja, mereka berhak diberi. Andaikan mereka meminta jatah daging, tanpa
harus bekerja, itu juga diperbolehkan. Apalagi kalau sampai mereka ikut
terlibat mensukseskan pengelolaan hewan qurban, mereka lebih diutamakan dari
orang-orang yang hanya menunggu diberi daging.
Hanya saja,
urusannya menjadi lain, kalau niat panitia bersifat komersial. Misalnya, dia
terlibat mengurus hewan qurban semata-mata karena ingin MENDAPAT UPAH.
Tentunya, upah itu dalam bentuk uang. Jika tidak ada uang, dia menuntut supaya
upah dikonversi dalam bentuk daging. Nah, perbuatan seperti ini yang tidak
diperbolehkan. Hasil daging qurban bukan untuk upah.
Tetapi BEKERJA
mencari upah sendiri bukan aib. Setiap Muslim boleh bekerja mencari upah demi
kebaikan diri dan keluarganya. Hanya saja, kalau mencari upah saat mengelola
hewan qurban, tidak boleh meminta upah dengan cara dibayar daging, kulit, atau
bulu hewan qurban. Upah itu bisa berupa uang, atau barang-barang lain yang
disepakati, selain bagian hewan qurban. (Misalnya, upah diminta dalam bentuk
korma, tepung roti, ikan, minyak, atau apa saja di luar bagian hewan qurban).
Kalau ada panitia
yang terlibat dengan niat mencari upah, harus diberikan upahnya. Dan hal itu
harus dilakukan kesepakatan sebelum urusan pengelolaan hewan qurban dimulai.
Adapun bagi yang mencari berkah dari rizki Allah berupa hewan qurban, harus
diberikan bagiannya. Bahkan siapa yang tidak mencari pun, asalkan Muslim dan
jatah dagingnya mencukupi, berhak diberi pula.
Dan sebaik-baik niat
terlibat dalam kepanitian qurban ialah dalam rangka mensukseskan syiar agama
Allah di muka bumi. Niat demikian, selain mendapat pahala takwa, juga berhak
mendapat berkah daging hewan qurban. Dalam Al Qur’an disebutkan,
ذَلِكَ
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Dan siapa yang mengagungkan syiar-syiar
Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (Surat Al Hajj:
32).
Semoga kajian
sederhana ini bermanfaat bagi Ummat; menghilangkan keragu-raguan di hati –atas
ijin Allah-; bisa membantu meninggikan syiar agama Allah, dan ikut menanam
saham bagi kekalkan barakah Idul Adha bagi kaum Muslimin. Semoga Allah Al Karim
memuliakan kita semua. Amin Allahumma amin.
Wallahu A’lam
bisshawaab.
Sumber : Ustadz
Djuned Gamaruddin
Diedit oleh : abiiba ( dengan penambahan font arabic )
Kami Peternakan Kampung 99 menyediakan kmbg & sapi qurban dg kwalitas sehat & baik. Info lbh lanjut silahkan hub. 087872127717. Trm ksh..
BalasHapus