Berdasarkan prinsip-prinsip di atas dapat dipahami bahwa
modernisasi dalam bidang muamalah diizinkan oleh syariat Islam, selama tidak
bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam itu sendiri. Menyadari bahwa
kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, maka syariat
Islam dalam bidang muamalah, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan
dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat
Islam, dimana pun mereka berada. Tentu perincian itu tidak menyimpang apalagi
bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Dalam konteks inilah
perusahaan ditempatkan sebagai muzakki/wajib zakat.
Sumber : (ERAMUSLIM.COM)
Perusahaan wajib mengeluarkan zakat, karena keberadaan
perusahaan adalah sebagai badan hukum (recht person) atau yang dianggap orang.
Oleh karena itu diantara individu itu kemudian timbul transaksi meminjam,
menjual, berhubungan dengan pihak luar, dan juga menjalin kerjasama. Segala
kewajiban dan hasil akhirnya pun dinikmati secara bersama-sama, termasuk di
dalamnya kewajiban kepada Allah SWT dalam bentuk zakat.
Demikian halnya juga, para ulama sepakat bahwa hukum
menginvestasikan harta melalui pembelian/pemilikan saham adalah sah secara
syar’i dan keuntungannya wajib dizakatkan. Pemegang saham merupakan bagian dari
pemilik perusahaan yang mewakilkan operasionalnya kepada pihak manajemen untuk
menjalankan operasional perusahaan dimana keutungan dan kerugian perusahaan
ditanggung bersama oleh pemegang saham. Keuntungan dan kerugian perusahaan
dapat diketahui pada waktu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan pada saat
itulah zakat di wajibkan. Namun para ulama berbeda tentang kewajiban
pengeluaran zakatnya.
Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman
isa dalam kitabnya “al-Mu’âmalah al-Hadîtsah Wa Ahkâmuha ”, mengatakan bahwa
yang harus diperhatikan sebelum pengeluaran zakat adalah status perusahaannya,
untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
1.
Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan yang bergerak dibidang layanan
jasa semata, misalnya biro perjalanan, biro iklan, perusahaan jasa angkutan
(darat, laut, udara), perusahaan hotel, maka sahamnya tidak wajib dizakati. Hal
ini dikarenakan saham–saham itu terletak pada alat–alat, perlengkapan,
gedung–gedung, sarana dan prasarana lainnya. Namun keuntungan yang diperoleh
dimasukkan ke dalam harta para pemilik saham tersebut, lalu zakatnya
dikeluarkan bersama harta lainnya jika telah mencapai nisab dan haul.
2.
Jika perusahaan tersebut adalah perusahaan dagang murni yang melakukan
transaksi jual beli barang tanpa melakukan proses pengolahan, seperti
perusahaan yang menjual hasil–hasil industri, perusahaan dagang Internasional,
perusahaan ekspor-impor, dan lain lain, maka saham–saham perusahaan tersebut
wajib dikeluarkan zakatnya disamping zakat dari keuntungan yang diperoleh.
Caranya adalah dengan menghitung kembali jumlah keseluruhan saham kemudian
dikurangi harga alat-alat, barang-barang ataupun inventaris lainnya, baru kemudian
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Hal ini dapat dilakukan setiap akhir tahun.
3.
Jika perusahaan tersebut bergerak dibidang industri dan perdagangan,
artinya melakukan pengolahan suatu komoditi dan kemudian menjual kembali hasil
produksinya, seperti perusahaan Minyak dan Gas (MIGAS), perusahaan pengolahan
mebel, marmer dan sebagainya, maka sahamnya wajib dizakatkan. Cara penghitungan
dan pengeluaran zakatnya adalah sama dengan cara penghitungan zakat perusahaan
yang bergerak dibidang perdagangan.
Pendapat kedua yaitu pendapat Abû Zahrah yang mengatakan
bahwa saham adalah harta yang beredar dan dapat diperjual–belikan, dan
pemiliknya mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan tersebut, karena itu
wajib dizakati. Ini termasuk
dalam kategori barang dagangan dan besarnya suku zakat adalah 2,5%. Caranya
adalah setiap akhir tahun, perusahaan melakukan penghitungan harga saham sesuai
dengan harga yang beredar dipasaran, kemudian menggabungkannya dengan
keuntungan yang diperoleh. Jika besarnya harga saham dan keuntungannya mencapai
nisab maka wajib dizakatkan.
Beda halnya, Yûsuf Qaradâwi mengatakan jika saham
perusahaan berupa barang atau alat seperti mesin produksi, gedung, alat
transportasi dan lain-lain, maka saham perusahaan tersebut tersebut tidak
dikenai zakat. Zakat hanya dikenakan pada hasil bersih atau keuntungan yang
diperoleh sebesar 10%. Hukum ini juga berlaku untuk asset perusahaan yang
dimiliki oleh individu/perorangan. Lain halnya kalau saham perusahaan berupa
komoditi yang diperdagangkan. Zakat dapat dikenakan pada saham dan
keuntungannya sekaligus karena dianalogikan dengan urûd tijârah. Besarnya suku
zakat adalah 2,5 %. Hal ini juga berlaku untuk aset serupa yang dimiliki oleh
perorangan.
Al-hasil, dalam konteks Indonesia, mengenai zakat perusahaaan,
belum lama ini telah mencuat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui sidang
ijtima yang diadakan pada Januari lalu telah mewajibkan zakat perusahaan.
Menurut Agustianto dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang
bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. 2:267 dan Q.S. 9:103). “Wahai
orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil
usaha-usahamu yang baik-baik...”.
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka...
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist
riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat
kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya
ada unsur syirkah. Sebagian isi surat itu antara lain: “...Jangan dipisahkan
sesuatu yang telah tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan
apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat
(berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”
Teks hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan
perkongsian zakat binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai
dasar qiyas (analog) untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam
perusahaan. Dengan dasar ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di
pandang sebagai syakhsiah hukmiyah (badan hukum). Para individu di
perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati
bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta.
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan
yang dipandang sebagai syakhsiah hukmiah, masih mengandung sedikit khilafiayah
di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang
lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam
wacara fiqih klasik. Meskipun ada semacam khilafiyah, tetapi umumnya ulama
kontemporer yang mendalami masalah zakat, mengkategorikan lembaga badan hukum
itu sebagai menerima hukum taklif dari segi kekayaan yang dimilikinya, karena
pada hakekatnya badan hukum tersebut merupakan gabungan dari para pemegang
saham yang masing-masing terkena taklif. Justru itu, maka tak syah lagi ia
dapat dinyatakan sebagai syakhsyiyah hukmiyah yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan perusahaan.
Dr.Wahbah Az-Zuhaily dalam karya monumentalnya “Al-fiqhi Al-Islami wa
Adillatuhu” menuliskan : Fiqih Islam mengakui apa yang disebut dalam hukum
positif sebagai syakhsyiyah hukmiyah atau syakhsyiyah I’tibariyah/ma’nawiyah
atau mujarradoh (badan hukum) dengan mengakui keberadaannya sebagai
lembaga-lembaga umum, seperti yayasan, perhimpunan dan perusahaan, sebagai
syakhsiyah (badan) yang menyerupai syakhsyiyah manusia pada segi kecakapan
memiliki, mempunyai hak-hak, menjalankan kewajiban-kewajiban, memikul tanggung
jawab yang berdiri sendiri secara umum”. Sejalan dengan Wahbah, Dr.Mustafa
Ahmad Zarga dalam kitab “Madkhal Al-Fiqh al’Aam” mengatakan, “Fiqih Islam
mengakui adanya syakhsyiyah hukmiyah atau I’tibariyah (badan hukum). (Volume III, halaman 256).
Dengan demikian, zakat perusahaan, analogi dari zakat
perdagangan, maka perhitungan, nishab dan syarat-syarat lainnya, juga mengacu
pada zakat perdagangan. Dasar perhitungan zakat perdagangan adalah mengacu pada
riwayat yang diterangkan oleh Abu ‘Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Maimun bin
Mihram. “Apabila telah sampai batas waktu untuk membayar zakat, perhatikanlah
apa yang engkau miliki baik uang (kas) atau pun barang yang siap diperdagangkan
(persediaan), kemudian nilailah dengan nilai uang. Demikian pula piutang.
Kemudian hitunglah hutang-hutangmu dan kurangkanlah atas apa yang engkau
miliki”. Lebih mendetail lagi, Agustianto menjelaskan berdasarkan kaedah di
atas, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa pola perhitungan zakat perusahaan
sekarang ini, adalah di dasarkan pada neraca (balance sheet), yaitu aktiva
lancar dikurangi kewajiban lancar (metode asset netto). Metode ini biasa
disebut oleh ulama dengan metode syari’ah. Waallâhu A’lam. (MZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar