Seperti biasa terjadi
di Makkah saat itu, dimana seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
akan merasakan berbagai macam siksaan dan penderitaan, maka Zubair pun jatuh ke
dalam “api” siksaan yang pedih itu. Ketika paman Zubair mengetahui keislamannya,
sang paman pun memasukkan tubuh Zubair ke dalam lipatan tikar yang terbuat dari
dedaunan, lalu menyalakan api di bawah gulungan tikar tersebut
hingga asap tebal pun naik ke atas. Hal ini menyebabkan Zubair hampir meninggal dunia karena merasa sesak nafas. Akan tetapi, dia tidak akan pernah kembali kepada “api” kekufuran setelah dia dibina di dalam “surga” iman. Maka, api yang telah dinyalakan oleh sang paman itu pun terasa olehnya seperti sebuah naungan yang menaunginya. Sungguh, cahaya iman telah menerangi hatinya, sehingga dia pun tidak lagi peduli dengan berbagai penderitaan dan siksaan yang dihadapinya saat berjuang di jalan Allah . Maka suara keras pun terdengar dari mulut Zubair guna membalas ajakan pamannya itu. Dia berkata, “ Demi Allah, aku tidak akan kembali lagi kepada kekufuran untuk selama-lamanya.”
hingga asap tebal pun naik ke atas. Hal ini menyebabkan Zubair hampir meninggal dunia karena merasa sesak nafas. Akan tetapi, dia tidak akan pernah kembali kepada “api” kekufuran setelah dia dibina di dalam “surga” iman. Maka, api yang telah dinyalakan oleh sang paman itu pun terasa olehnya seperti sebuah naungan yang menaunginya. Sungguh, cahaya iman telah menerangi hatinya, sehingga dia pun tidak lagi peduli dengan berbagai penderitaan dan siksaan yang dihadapinya saat berjuang di jalan Allah . Maka suara keras pun terdengar dari mulut Zubair guna membalas ajakan pamannya itu. Dia berkata, “ Demi Allah, aku tidak akan kembali lagi kepada kekufuran untuk selama-lamanya.”
Zubair tetap
bersikukuh untuk mempertahankan keislamannya, sehingga siksaan dari orang-orang
musyrik yang ditujukan kepadanya semakin hebat. Karenanya, ketika kaum muslimin
berhijrah ke Habasyah, Zubair kemudian ikut berhijrah bersama kaum muslimin ke
Madinah dengan tujuan agar dia dapat memulai perjuangannya di jalan Allah
melawan pasukan kemusyrikan dan kekafiran.
Dalam Perang Badar
Zubair radhiyallahu‘anhu mengenakan mantel berwarna kuning. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan
Zubair pada sayap kanan pasukan karena beliau telah mengetahui keberanian dan
kekuatan Zubair.
Pada perang Uhud,
Zubair termasuk salah seorang yang tetap berada di sekeliling Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat
itu dia berusaha membela beliau dari serangan kaum musyrikin. Selanjutnya,
setelah terjadinya perang Uhud, Zubair bersama Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
berjalan membuntuti pasukan kaum musyrikin dengan tujuan mengusir mereka.
Adapun pada perang
Khandaq, kondisi kaum muslimin sangat buruk. Bahkan setiap orang diantara
mereka tidak bisa masuk ke toilet karena pengepungan yang dilakukan terhadap
mereka sangat ketat, sehingga mereka takut terbunuh. Kondisi semakin memburuk
ketika kaum Yahudi Bani Quraidhah mengingkari perjanjian mereka dengan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu mereka membuka peluang lebar bagi kaum musyrikin untuk
masuk ke Madinah. Karenanya, Rasulullah SAW berseru
kepada kaum muslimin, “Siapa yang akan
pergi ke Bani Quraidhah untuk memerangi mereka?”
Melihat situasi yang
menakutkan ini, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang mau keluar untuk
memerangi mereka. Saat itu Zubair berdiri, lalu berkata, “Akulah yang akan keluar, wahai Rasulullah!” Rasulullah SAW mengulangi
seruannya itu, tetapi tidak ada seorang pun yang mau keluar, kecuali Zubair.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Demi
ayah dan ibuku, sesungguhnya setiap Nabi mempunyai Hawari (pengikut setia) dan
Hawariku adalah Zubair.”
Sejak hari itu Zubair
pun menjadi hawari (pengikut setia) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
KisahMuslim.com
sumber : Buletin Al Mujahidin 11/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar